Laman

Fiqih Nikah 1: Definisi dan Pensyariatannya

Posted on | By Ryper | In

Nikah, istilah yang mungkin sering masuk ke pikiran seseorang ketika usia telah dewasa. Harapan ingin mendapatkan pasangan hidup dan anak terkumpul pada kata tersebut. Namun, sayang sekali ketika seseorang yang hendak melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, mereka tidak mengetahui tentang hukum-hukum seputar nikah, yang akhirnya banyak sekali pasangan-pasangan yang menjalankan pernikahannya tidak mengetahui batasan-batasan nikah, baik syarat sah atau pembatal pernikahan tersebut. Mereka berkata yang sesungguhnya telah termasuk pembatal pernikahan, namun karena mereka tidak tahu, mereka tetap merasa masih berstatus menikah, padahal karena perkataannya tersebut telah batal lah pernikahan mereka, dan hubungan mereka menjadi hubungan perzinaan (na'udzubillah), semoga AllahTa’ala mengampuni ketidaktahuan mereka
.
Disamping itu, ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum nikah, termasuk menjadi sebab banyaknya pasangan-pasangan yang tidak langgeng dalam pernikahannya. Mereka mengharapkan hak yang sebenarnya bukan hak mereka dan mereka tidak mengerjakan tugas yang sebenarnya kewajiban mereka, sehingga hubungan tidak harmonis dan perceraian menjadi hasil akhir dari pernikahan tersebut.
Oleh karenanya, pengetahuan tentang fiqih nikah sebelum seseorang melangsungkan pernikahan menjadi sesuatu yang wajib, sebagaimana wajibnya seseorang mempelajari fiqih shalat, puasa, naik haji, dll sebelum seseorang mengerjakannya.

Pada kesempatan ini, marilah kita sedikit belajar tentang fiqih nikah sebagai bekal kita menaungi kehidupan pernikahan yang sakinah mawaddah wa rahmah.  Aamiin.

Definisi

Kita sering membedakan antara istilah nikah dengan kawin, nikah sebagai akadnya sedangkan kawin sebagai hubungan badan. Hal ini tidaklah salah, namun makna nikah secara bahasa sebenarnya berasal dari kata al-wath’u yang artinya hubungan badan. Akan tetapi dalam bahasa arab dimajaskan menjadi akad nikah,.Hal tersebut dikatakan demikian karena tidaklah akad nikah disebut nikah melainkan menjadi sebab halalnya hubungan badan. Sehingga dalam istilah nikah, telah terkumpul kata akad dan hubungan badan.

Di dalam al-qur’an, semua kata dengan lafadz nikah mempunyai makna akad kecuali dalam ayat
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain” (Al-Baqarah:230)
Maksud ayat adalah perempuan tersebut tidaklah halal bagi suaminya yang pertama setelah jatuh talak 3, sampai perempuan tersebut menikah dan berhubungan badan dengan suami yang kedua dan bercerai, baru kemudian perempuan ini boleh menikah kembali ke suaminya yang pertama.
Dalam ayat ini, kata تَنكِحَ tidak hanya sekedar akad nikah, namun harus terjadi hubungan badan. Apa dasar dari hal ini? Adalah hadits nabi yang menjelaskan kewajiban tidak cukup akad nikah dengan suami yang kedua, namun harus sampai kepada hubungan badan (penjelasan lebih rinci pada artikel selanjutnya, insyaAllah).

Pensyariatan nikah
Nikah merupakan suatu hal yang disyariatkan dalam agama islam, baik dalam al-qur’an, hadits nabi dan ijma para ulama.

Adapun al-qur’an mensyariatkan nikah terdapat dalam ayat berikut
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ             
“Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai” (An-Nisa:3)

Sekedar tambahan: dalam ayat ini Allah Ta’ala menggunakan kata maa bukan menggunakan kata man, padahal maa diperuntukkan untuk hal-hal yang tdk berakal, sedangkan kata man diperuntukkan untuk hal-hal yang berakal. Oleh karena itu ayat ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa ketika seseorang mencari perempuan, maka yang dicari bukanlah dzatnya melainkan sifat dari perempuan tersebut, sifat penyayang, lemah lembut, romantis dan lain-lainnya, bukan dzat atau bentuknya, dan sifat termasuk sesuatu yang tidak berakal. Maka wajar jika kita menemui pasangan yang bertolak belakang dalam parasnya, yang satu tampan yang satu jelek, namun terlihat sangat serasi, karena mereka tidak melihat fisik dari pasangannya melainkan dari sifat-sifatnya. (jika anda termasuk perempuan yang tidak berparas baik, perbaikilah sifatmu bukan perbaiki penampilanmu dengan pakaian yang diharamkan untukmu)

Adapun pensyariatan nikah dari hadits adalah berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan nabi. Dan hadits-haditsnya akan kita bahas pada pembahasan berikutnya (insyaAllah).

Adapun ijma, maka kaum muslimin sepakat adanya pensyariatan pernikahan, dan Allah Ta'ala telah memotivasi manusia untuk segera menikah, karena menikah memiliki kebaikan yang sangat besar dan dapat mencegah dari bahaya yang besar. Allah Ta'ala berfirman
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang bersendirian diantara kalian” (An-Nuur: 32)

Dalam ayat ini, kata اْلأَيَامَى mencakup orang-orang yang masih bujangan, perawan, janda maupun duda, dan sebagian ahli tafsir mengatakan ayat ini diperuntukkan kepada para wali untuk segera menikahkan orang-orang yang tidak menikah, baik masih bujang atau sudah duda. Sehingga dari hal ini, sungguh salahlah perkataan orang terhadap orang-orang yang telah duda atau janda karena ditinggal mati pasangannnya dengan dikatakan laki-laki atau perempuan yang tidak setia jika mereka menikah kembali.

Dalam ayat ini juga menunjukkan adanya perintah kepada seluruh kaum muslimin untuk menyuruh orang-orang yang masih bersendiri untuk menikah dan membantu pernikahan mereka.

Allah Ta'ala juga berfirman
فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“Janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah kembali dengan mantan suaminya” (Al-Baqarah: 232)

Ayat ini memberikan larangan kepada orang yang menghalangi seseorang untuk menikah. Sehingga dari hal ini, menikah dan menikahkan orang yang masih sendiri merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala dan Allah Ta'ala melarang orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menikah.
Faedah lain dari ayat ini adalah bahwasanya wali merupakan syarat sah pernikahan, dan ini membantah sebagian orang yang mengatakan “menikah itu sah walaupun tanpa wali”. Karena jika wali bukan merupakan syarat sah pernikahan, tidak mungkin Allah melarang para wali untuk menghalangi pernikahan saudarinya atau anaknya.

Manfaat pernikahan

Dalam suatu hadits Rosulullah bersabda:
“Nikah itu adalah sunnahku, maka siapa yang meninggalkan sunnahku maka ia bukan umatku” (HR Bukhori dan Muslim)

Sabda lain

“Hendaklah kalian menikah supaya jumlah kalian banyak, karena aku akan membanggakan kalian dihadapan umat-umat yang lain di hari kiamat” (HR Ibnu Hibban dalam shohihnya)

Dan hadits-hadits yang semakna dengan hal tersebut sangat banyak.

Dari hadits diatas, terlihat demikian besar perhatiaan islam terhadap pernikahan, kenapa? Karena dengan pernikahan akan muncul manfaat-manfaat yang sangat besar, baik untuk kedua pasangan tersebut, anak-anaknya, masyarakat dan agama, serta kebaikan-kebaikan yang lainnya.
Berikut manfaat-manfaat pernikahan …  (bersambung pada artikel selanjutnya.. :D)

Kitab Rujukan: Taisiirul 'Alaam Syarhu 'Umdatil Ahkaam

Comments (1)

salam, ustaz minta teruskan sambungan fiqih nikah hingga akhirnya. jzkk :)

Posting Komentar