11. Sesungguhnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, semua
permasalahan dapat diselesaikan. Dan wajib mengembalikan setiap perkara yang
diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Jika engkau berselisih terhadap sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasulnya.” (An-Nisa-59)
Dalam ayat ini, terdapat kata
شَىْءٍ
dalam bentuk nakirah dan didahului huruf
syarat
إِن sehingga menunjukkan keumuman.
Maka makna dari ayat tersebut, “Jika engkau berselisih
terhadap segala perkara, baik itu perkara yang besar ataupun kecil, maka
kembalikanlah seluruhnya kepada Allah, yakni Al-Qur’an dan Rasulullah melalui
Sunnahnya.”
Dalam Firman Allah lainnya.
وَمَااخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَىْءٍ
فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ
"Dan segala sesuatu yang engkau perselisihkan, maka
kembalikan kepada Allah” (As-Syuura: 10)
Imam As-Syafi’I mengatakan “Barang siapa yang berselisih
setelah wafatnya Rasul, maka wajib mengembalikannya kepada keputusan Allah
kemudian keputusan Rasulullah. Jika tidak ditemukan jawaban dari perselisihan
tersebut dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau salah satu dari keduanya, maka
harus mengembalikannya kepada “kias” yang permasalahannya menyerupai salah satu
dari keduanya” (Ar-Risalah 81)
Maksudnya, ketika kita tidak mendapatkan jawaban dari
permasalah kita baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka kita harus
mengkiaskan atau mencocokkannya dengan permasalah lain yang hampir sama dengan
permasalah kita di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnu taimiyahh mengatakan, “Jika kaum muslimin berselisih
pendapat terhadap suatu masalah, maka wajib mengembalikannya kepada Allah dan
Rasulnya. Dan manakah dari dua pendapat tersebut yang berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka wajib untuk mengikutinya. (Majmu Fatawa 2/12)
12. Tidak diperbolehkan bermusyawarah mengenai hukum yang
ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnnah.
Al-Bukhari mengatakan, “Para Penguasa setelah wafatnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka bermusyawarah dengan orang-orang yang amanah dan
orang-orang yang berilmu di dalam permasalah-permasalahan yang MUBAH
(diperbolehkan). Untuk menentukan “manakah yang paling mudah dilakukan?”. Jika
telah jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka tidak akan
mengambil pendapat lain selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam rangka meneladani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
13. Mengharuskan mengubah fatwa yang menyelisihi hukum yang
ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ad-Darimy membuat bab dalam Sunannya “Bab seseorang yang
membuat fatwa tentang suatu hal, kemudian sampai kepadanya Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia meralat fatwanya dan kembali kepada
perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
14. Wajibnya meralat suatu pendapat dan membuang suatu
pendapat yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Khotib Al-Bagdadi mengkhususkan dalam kitabnya Al-Faqih
wal Mutafaqqih, beliau menyebutkan riwayat-riwayat mengenai ruju’nya para Shahabat dari pendapat-pendapat mereka kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika mereka telah mendengarnya dan menghapalnya.
15. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolak ukur untuk
mengetahui manakah perndapat yang benar dan pendapat yang salah.
Imam Asy-Syafi’I mengatakan, “Dan jadikanlah setiap perkataan
dan perbuatanmu selamanya bersesuaian dan mengikuti kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Ibnu Abdil Baar mengatakan “Ketahuilah wahai saudaraku,
bahwasanya Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber dari suatu kebenaran dan tolak
ukur dari suatu pendapat. Bukanlah pendapat manusia yang menjadi tolak ukur
mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, melainkan kedua hal tersebutlah yang menjadi
tolak ukur dari semua pendapat manusia.” (Jaamiu Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi
3/173)
Ibnul Qayyim berkata, “Bahwasanya ulama-ulama terdahulu
sangat keras terhadap orang-orang yang mendahulukan pendapatnya dari apa-apa
yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan mereka tidak berdiam diri atas
perbuatan tersebut.” (Mukhtashor Ash-Showa’iq 139)
16. Jika ditemukan
dasar atau hukum atas suatu permasalahan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
gugurlah ijtihad manusia, dan batal-lah pendapat yang menyelisihinya.
Hal ini
karena tidak boleh seseorang berijtihad atau mengemukakan suatu pendapat
melainkan jika permasalahan tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sebagaimana tidak boleh melakukan tayamum untuk berwudhu jika
disekitarnya terdapat air.
17. Sesungguhnya kaum muslimin tidak akan bersatu dan tidak
mungkin bersepakat untuk menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah
Imam Asy-Syafi’I mengatakan ketika menerangkan tentang ijma,
“dan diantara dalilnya adalah ijma (kesepakatan) ulama kaum muslimin, yang
mereka tidak akan mungkin bersepakat di dalam menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah.” (Ar-Risalah 322)
Imam Asy-Syafi’I juga mengatakan, “Aku tidak menemukan ada
kesepakatan kaum muslimin yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
(Al-Masdarul Saabiq 470)
Dan diantara fungsi dari ijma (kesepakatan) adalah
menghilangkan perselisihan. Sehingga jika kita menemukan keterangan bahwa kaum
muslimin ijma atas suatu hal, maka kita tidak boleh untuk menyelisihinya.
18. Dalam meng”kias”kan suatu permasalahan, maka harus
sesuai dan dicocokkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak boleh untuk
menyelisihi keduanya untuk selamanya.
19. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin akan bertentangan
dengan akal sehat. Bahkan akal yang sehat akan sesuai dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Karenanya, Al-Qur’an tidak akan bertentangan dengan
As-Sunnah, begitupun sebaliknya. Dan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak akan
bertentangan dengan akal sehat, serta akal sehat tidak akan pernah bertentangan
dengan realita (kenyataan).
Dari hal ini, Al-Qur’an, As-Sunnah, akal sehat dan realita
adalah 4 hal yang tidak akan mungkin bertentangan.
20. Seandainya seakan-akan terjadi pertentangan antara akal
sehat dan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib mendahulukan Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Padahal pada kenyataannya, tidak mungkin akal sehat
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan pertentangan itu hanya
kelihatannya saja bertentangan, yang dalam hakikatnya tidaklah terjadi
pertentangan.
Sumber: Ma'alim Ushul Fiqh 'Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah
Comments (0)
Posting Komentar