Laman

Ushul Fiqih 5: Karakteristik Al-qur’an dan As-sunnah (Bag-2)

Posted on | By Ryper | In



11. Sesungguhnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, semua permasalahan dapat diselesaikan. Dan wajib mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

“Jika engkau berselisih terhadap sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya.” (An-Nisa-59)

Dalam ayat ini, terdapat kata شَىْءٍ  dalam bentuk nakirah dan didahului huruf syarat إِن sehingga menunjukkan keumuman.
Maka makna dari ayat tersebut, “Jika engkau berselisih terhadap segala perkara, baik itu perkara yang besar ataupun kecil, maka kembalikanlah seluruhnya kepada Allah, yakni Al-Qur’an dan Rasulullah melalui Sunnahnya.”

Dalam Firman Allah lainnya.


وَمَااخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَىْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ



"Dan segala sesuatu yang engkau perselisihkan, maka kembalikan kepada Allah” (As-Syuura: 10)

Imam As-Syafi’I mengatakan “Barang siapa yang berselisih setelah wafatnya Rasul, maka wajib mengembalikannya kepada keputusan Allah kemudian keputusan Rasulullah. Jika tidak ditemukan jawaban dari perselisihan tersebut dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau salah satu dari keduanya, maka harus mengembalikannya kepada “kias” yang permasalahannya menyerupai salah satu dari keduanya” (Ar-Risalah 81)

Maksudnya, ketika kita tidak mendapatkan jawaban dari permasalah kita baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka kita harus mengkiaskan atau mencocokkannya dengan permasalah lain yang hampir sama dengan permasalah kita di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu taimiyahh mengatakan, “Jika kaum muslimin berselisih pendapat terhadap suatu masalah, maka wajib mengembalikannya kepada Allah dan Rasulnya. Dan manakah dari dua pendapat tersebut yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib untuk mengikutinya. (Majmu Fatawa 2/12)

12. Tidak diperbolehkan bermusyawarah mengenai hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnnah.

Al-Bukhari mengatakan, “Para Penguasa setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bermusyawarah dengan orang-orang yang amanah dan orang-orang yang berilmu di dalam permasalah-permasalahan yang MUBAH (diperbolehkan). Untuk menentukan “manakah yang paling mudah dilakukan?”. Jika telah jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka tidak akan mengambil pendapat lain selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam rangka meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

13. Mengharuskan mengubah fatwa yang menyelisihi hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ad-Darimy membuat bab dalam Sunannya “Bab seseorang yang membuat fatwa tentang suatu hal, kemudian sampai kepadanya Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia meralat fatwanya dan kembali kepada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” 

14. Wajibnya meralat suatu pendapat dan membuang suatu pendapat yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Khotib Al-Bagdadi mengkhususkan dalam kitabnya Al-Faqih wal Mutafaqqih, beliau menyebutkan riwayat-riwayat mengenai ruju’nya para Shahabat dari pendapat-pendapat mereka kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mereka telah mendengarnya dan menghapalnya.

15. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolak ukur untuk mengetahui manakah perndapat yang benar dan pendapat yang salah.

Imam Asy-Syafi’I mengatakan, “Dan jadikanlah setiap perkataan dan perbuatanmu selamanya bersesuaian dan mengikuti kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Ibnu Abdil Baar mengatakan “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber dari suatu kebenaran dan tolak ukur dari suatu pendapat. Bukanlah pendapat manusia yang menjadi tolak ukur mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, melainkan kedua hal tersebutlah yang menjadi tolak ukur dari semua pendapat manusia.” (Jaamiu Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi 3/173)

Ibnul Qayyim berkata, “Bahwasanya ulama-ulama terdahulu sangat keras terhadap orang-orang yang mendahulukan pendapatnya dari apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan mereka tidak berdiam diri atas perbuatan tersebut.” (Mukhtashor Ash-Showa’iq 139) 

16.  Jika ditemukan dasar atau hukum atas suatu permasalahan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka gugurlah ijtihad manusia, dan batal-lah pendapat yang menyelisihinya. 

Hal ini karena tidak boleh seseorang berijtihad atau mengemukakan suatu pendapat melainkan jika permasalahan tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana tidak boleh melakukan tayamum untuk berwudhu jika disekitarnya terdapat air.

17. Sesungguhnya kaum muslimin tidak akan bersatu dan tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah

Imam Asy-Syafi’I mengatakan ketika menerangkan tentang ijma, “dan diantara dalilnya adalah ijma (kesepakatan) ulama kaum muslimin, yang mereka tidak akan mungkin bersepakat di dalam menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Ar-Risalah 322)

Imam Asy-Syafi’I juga mengatakan, “Aku tidak menemukan ada kesepakatan kaum muslimin yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah”. (Al-Masdarul Saabiq 470)

Dan diantara fungsi dari ijma (kesepakatan) adalah menghilangkan perselisihan. Sehingga jika kita menemukan keterangan bahwa kaum muslimin ijma atas suatu hal, maka kita tidak boleh untuk menyelisihinya.

18. Dalam meng”kias”kan suatu permasalahan, maka harus sesuai dan dicocokkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak boleh untuk menyelisihi keduanya untuk selamanya. 

19. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin akan bertentangan dengan akal sehat. Bahkan akal yang sehat akan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Karenanya, Al-Qur’an tidak akan bertentangan dengan As-Sunnah, begitupun sebaliknya. Dan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak akan bertentangan dengan akal sehat, serta akal sehat tidak akan pernah bertentangan dengan realita (kenyataan).
Dari hal ini, Al-Qur’an, As-Sunnah, akal sehat dan realita adalah 4 hal yang tidak akan mungkin bertentangan.

20. Seandainya seakan-akan terjadi pertentangan antara akal sehat dan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Padahal pada kenyataannya, tidak mungkin akal sehat bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan pertentangan itu hanya kelihatannya saja bertentangan, yang dalam hakikatnya tidaklah terjadi pertentangan. 

Sumber: Ma'alim Ushul Fiqh 'Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah

Comments (0)

Posting Komentar