Diantara karakteristik Al-qur’an dan As-sunnah yang harus kita yakini dan taati adalah
1. Sesungguhnya Al-qur’an dan As-sunnah merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana Al-qur’an merupakan kalamullah sedangkan sunnah Nabi adalah penjelasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Rosulnya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat an-najm 3-4
وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."
Mengenai hal ini, Ibnu Hajm mengatakan dalam Al-hikam Fi Ushulil Ahkam “wahyu terbagi 2, yaitu wahyu yang dibacakan yakni Al-qur’an dan ada wahyu yang didapatkan berdasarkan riwayat yakni hadist”. Sehingga baik Al-qur’an maupun sunnah merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Sesungguhnya Al-qur’an dan As-sunnah sampai kepada kita karena perantara Nabi, sebab kita tidak mungkin dapat mendengar langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga dari Jibril Alaihissalam. Maka Al-qur’an didengar dari Nabi, dan sunnah pun didengar dari Nabi. Mengenai hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabinya untuk mengatakan
وَأُوحِىَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْءَانُ لأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ
“Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (surat Al-an’am 19)
Ayat ini, merupakan dalil bahwa kerosulan Nabi adalah bersifat umum, Al-qur’an tidak hanya untuk orang arab saja, akan tetapi semua orang yang sampai kepadanya Al-qur’an, baik jin dan manusia pada setiap jaman maupun tempat.
Sehingga ketika seseorang ada yang mengatakan “ia mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Jibril ‘Alaihissalam”, maka ketahuilah ia adalah seorang pendusta. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan wahyunya hanya kepada Nabi, dan tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Dan ini juga bantahan kepada orang yang mengatakan, “syariat islam hanya untuk orang arab saja, atau syariat islam hanya pada masa Nabi, masa sekarang tidak berlaku”. Karena dalam ayat disebutkan Al-qur’an diperuntukkan kepada semua yang sampai padanya dan mendengar al-qur’an, dan ini tidak terbatas dengan waktu dan tempat.
3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin dan menjaga Al-qur’an dan As-sunnah, Allah berfirman
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya kami yang menurunkan addzikr dan sesungguhnya kamilah yang menjaganya”
(Al-hijr:9).
Kata Ad-dzikr, para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai maknanya, Ibnul Qoyyim mengatakan “setiap wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-qur’an dan As-sunnah) adalah Ad-dzikr yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan” (Al-mukhtasor As-showaaiq). Adapun ulama yang lain mengatakan Ad-dzikr yang dimaksud adalah hanya Al-qur’an. Akan tetapi kedua pendapat ini adalah benar, karena Ad-dzikr yang berarti Al-qur’an adalah Al-qur’an baik lafadz dan maknanya. Dan makna Al-qur’an tidak bisa terjaga melainkan dengan terjaganya As-sunnah.
Hal ini merupakan bantahan bagi orang yang mengatakan “Sunnah Nabi sudah bercampur dengan tangan manusia, sehingga maknanya berubah”, karena ayat ini menunjukkan jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Al-qur’an dan As-sunnah.
4. Sesungguhnya Al-qur’an dan As-sunnah adalah hujjah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada makhluknya.
Imam Syafi’i berkata “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Agung, segala pujian hanya untuknya, dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegakkan hujjah atas makhluknya dari dua sisi, yakni Al-qur’an dan As-sunnah”. (Ar-risalah)
Ibnul Qoyyim berkata “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegakkan hujjah atas makhluknya dengan adanya kitab dan para Rosul, Allah berfirman
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
"Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (Al-furqon:1)”. (asshowaiq mursalah)
Pada ayat di atas, kalimat
عَلَى عَبْدِهِ menunjukkan 2 hal, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang hamba, seorang makhluk yang tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan, baik rububiyyah, uluhiyah atau asma wa shifat. Dan karena kalimat ini merupakan susunan
mufrod mudhof yang menunjukkan hal umum, memberi makna bahwa
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang hamba yang sempurna, yang telah mewujudkan segala bentuk penghambaan.
Pada ayat di atas pula, kalimat لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا lagi-lagi menunjukkan bahwa diutusnya Nabi Muhammad adalah bersifat umum bagi seluruh makhluk, baik jin dan manusia di semua tempat dan waktu.
5. Sesungguhnya Al-qur’an dan As-sunnah merupakan sumber ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan cara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada para hambanya.
Ibnu Abdil Bar berkata “Dasar dari ilmu adalah Al-qur’an dan As-sunnah” (Jami’ Bayanil ‘Ilmu wa Fadhluhu).
Dari hal ini, ketika seseorang berbicara tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, hukum dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Al-qur’an dan As-sunnah lah sumbernya, bukan logika, bukan mimpi atau wejangan-wejangan yang lainnya.
6. Sesungguhnya Al-qur’an dan As-sunnah adalah sumber untuk mengetahui hal yang halal dan yang haram, serta sumber untuk mengetahui hukum-hukum Allah dan aturan-aturan Allah.
Ibnu Taimiyah berkata “Dan diwajibkan bagi kalian untuk beriman kepada Rosul, beriman kepada ajaran Rosul dan mentaatinya, serta menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rosulnya, dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rosulnya”. (Majmu Fatawa)
Sehingga dasar penetapan halal dan haram adalah Al-qur’an dan As-sunnah.
7. Wajibnya mengikuti apa yang ada dalam Al-qur’an dan wajib berpegang teguh dengannya.
Imam Syafi’I berkata “sesungguhnya tidak diwajibkan untuk mengikuti perkataan kecuali Al-qur’an dan As-sunnah” (jama’ul ilmi).
Dari hal ini, sesuatu yang wajib diikuti hanyalah Al-qur’an dan As-sunnah, adapun perkataan manusia yang merupakan ijtiihad mereka, fatwa-fatwa para ulama yang terkadang bisa benar dan bisa salah, maka mengikuti hal ini hanya sebatas boleh untuk mengikuti, tidak menjadi wajib. Karena dasar yang wajib diikuti hanyalah hukum yang ada pada Al-qur’an dan As-sunnah. Adapun perkataan manusia, walaupun tinggi ilmunya namun dia tidak memiliki dasar yang kuat atas suatu hukum dan hanya berlandaskan ijtihad, maka mengikuti perkataan ini hanya sebatas boleh untuk mengikuti.
8. Sesungguhnya kewajiban untuk mengikuti Al-qur’an dan As-sunah adalah bersifat umum, maka tidak boleh meninggalkan sesuatu apapun hal-hal yang terkandung di dalam keduanya dan diharamkan untuk menyelisihinya pada kondisi apapun. (bersifat umum pula bisa berarti, diperuntukkan bagi seluruh makhluk pada setiap jaman atau tempat).
Ibnu Abdil Bar berkata “Dan Allah memerintahkan untuk mentaati Rosul dan mengikuti Rosul dengan perintah yang bersifat umum dan global, tidak dibatasi dengan sesuatu apapun, -sebagaimana allah memerintahkan untuk mengikuti Al-qur’an- dan tidaklah Allah mengatakan hanya bersumber pada Al-qur’an semata sebagaimana perkataan orang-orang sesat” (Jami’ Bayanil ‘Ilmu wa Fadhluhu).
Maksudnya, sumber ilmu adalah Al-qur’an dan As-sunnah, baik di dalam As-sunnah sejalan dengan Al-qur’an ataupun tidak, karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bersifat umum untuk menaati Rosul, sehingga jika perkataan Nabi tidak ada dalam Al-qur’an (dan ini sangat banyak), maka kita tetap untuk mengikutinya. Tidak sebagaimana perkataan orang-orang sesat, mereka menganggap hadits Nabi (yang shahih) yang tidak sejalan dengan Al-qur’an maka hadits tersebut tertolak.
Sebagai contoh, di dalam Al-qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seseorang menikahi kakak beradik sekaligus, namun Rosul juga melarang menikahi sekaligus seorang perempuan dengan bibinya. Perintah Rosul ini tidak ada dalam Al-qur’an, dan ini merupakan tambahan dari Al-qur’an, sehingga kita tetap wajib untuk mengikutinya.
Dari perkataan ibnu abdil bar di atas, orang yang meninggalkan hadits Nabi yang shahih karena tidak sejalan atau tidak ada dalam Al-qur’an, orang tersebut adalah orang-orang yang sesat.
Ibnu taimiyah berkata “maka hujjah atau dalil yang harus diikuti adalah Al-qur’an, As-sunnah dan Ijma. Karena hal tersebut merupakan kebenaran yang tidak ada kebatilan di dalamnya, sehingga wajib untuk diikuti dan tidak boleh meninggalkannya pada kondisi apapun. Kewajiban ini bersifat umum, tidak boleh meninggalkan sesuatu apapun hal-hal yang terkandung di dalamnya dan tidak boleh bagi seorang pun untuk keluar dari aturan yang ditunjukkan dalam Al-qur’an, As-sunnah dan Ijma. Dan dasar ini (Al-qur’an, As-sunnah dan Ijma) dibangun dari dua prinsip:
1. Bahwa inilah ajaran Rosul
2. Ajaran yang datang dari Rosul wajib diikuti
Dan point kedua ini, merupakan perkara keimanan, sehingga orang menyelisinya adalah orang yang kufur atau munafik. (Majmu Fatawa).
9. Wajibnya tunduk dengan sempurna kepada Al-qur’an dan As-sunnah, serta tidak boleh menentangnya.
Al-khotib Al-bagdadi mengkhususkan untuk masalah ini pada bab khusus dalam kitabnya Al-faqih wal Mutafaqqih, beliau berkata “Bab mengagungkan As-sunnah, dorongan berpegang teguh dengan As-sunnah, tunduk, patuh dan tidak menentang As-sunnah”.
10. Sesungguhnya menentang Al-qur’an dan As-sunnah merupakan salah satu kecacatan iman.
Ibnul Qoyyim berkata “sesungguhnya mempertentangkan antara akal dan dalil-dalil wahyu tidaklah terjadi di atas kaidah kaum muslimin yang beriman dengan kenabian dengan sebenar-benarnya. Dan tidak pula terjadi di atas landasan orang yang beragama yang yakin akan hakekat kenabian. Sehingga menentang Al-qur’an dan As-sunnah dengan dasar akal bukanlah termasuk bagian dari beriman kepada Nabi sedikitpun. Dan sesungguhnya pertentangan ini hanya terjadi kepada orang yang mengaku kenabian namun dia beriman dengan dasar kaidah ahli filsafat.” (As-showaiqul Al-mursalah)
Comments (0)
Posting Komentar